Nama : I Pande Putu Gangga W P
NPM : 23212513
Kelas : 2EB21
Apa keungggulan bisnis di indonesia dan mengapa
bisnis tersebut kurang berkembang di indonesia ?
Direktur Pertamina Geothermal Energy, Ardiansyah mengatakan,
pemanfaatan energi panas bumi (geothermal) perlu dilakukan secara sinergi oleh
semua pihak. Pasalnya, tanpa itu semua sangat sulit untuk menggali potensi
energi panas bumi yang ada di Indonesia saat ini.
"Saat ini Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar di dunia, setidaknya 29 gigawatt total potensi panas bumi. Sayangnya, dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan sekitar 1,2 gigawatt," kata dia, Jumat (1/11/2013).
Dia mengatakan, ini bertolak belakang dengan kebijakan energi nasional telah menargetkan agar panas bumi dapat menyokong 5 persen bauran energi nasional pada 2025. Namun yang terjadi hingga saat ini panas bumi baru berkontribusi 1 persen dengan perkembangan yang lambat," ujarnya.
Menurutnya, pengolahan sumber daya listrik dari energi panas bumi menjadi energi listrik juga telah dilakukan dan terus dikembangkan di Indonesia. Bahkan, untuk pengerjaan proyek percepatan energi listrik 10.000 MW tahap kedua.
"Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) memiliki porsi yang meningkat yang sangat signifikan. Dalam pembangunan proyek 10.000 MW tahap kedua, kurang lebih 43 buah PLTP dengan kapasitas total produksi listrik sebesar 4.925 MW ditargetkan dapat dibangun dan beroperasi," kata dia.
Karena itu, lanjut Ardiansyah, yang jadi pemicu lambatnya perkembangan panas bumi kurang adanya sinergi sejumlah pihak terkait. Di sisi lain, masih sedikit pihak swasta yang kurang tampil berada di garis paling pertama memajukan energi panas bumi.
PGE akan terus meningkatkan pengetahuan dan tenaga sumber daya manusia nasional untuk pengembangan industri panas bumi sekaligus menjawab tantangan ketahanan energi nasional di masa mendatang.
"Saat ini Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar di dunia, setidaknya 29 gigawatt total potensi panas bumi. Sayangnya, dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan sekitar 1,2 gigawatt," kata dia, Jumat (1/11/2013).
Dia mengatakan, ini bertolak belakang dengan kebijakan energi nasional telah menargetkan agar panas bumi dapat menyokong 5 persen bauran energi nasional pada 2025. Namun yang terjadi hingga saat ini panas bumi baru berkontribusi 1 persen dengan perkembangan yang lambat," ujarnya.
Menurutnya, pengolahan sumber daya listrik dari energi panas bumi menjadi energi listrik juga telah dilakukan dan terus dikembangkan di Indonesia. Bahkan, untuk pengerjaan proyek percepatan energi listrik 10.000 MW tahap kedua.
"Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) memiliki porsi yang meningkat yang sangat signifikan. Dalam pembangunan proyek 10.000 MW tahap kedua, kurang lebih 43 buah PLTP dengan kapasitas total produksi listrik sebesar 4.925 MW ditargetkan dapat dibangun dan beroperasi," kata dia.
Karena itu, lanjut Ardiansyah, yang jadi pemicu lambatnya perkembangan panas bumi kurang adanya sinergi sejumlah pihak terkait. Di sisi lain, masih sedikit pihak swasta yang kurang tampil berada di garis paling pertama memajukan energi panas bumi.
PGE akan terus meningkatkan pengetahuan dan tenaga sumber daya manusia nasional untuk pengembangan industri panas bumi sekaligus menjawab tantangan ketahanan energi nasional di masa mendatang.
Panas Bumi di Indonesia Tak Berkembang Karena Mafia
Batubara
Sebagian besar listrik di Indonesia 88% lebih
dipasok lewat pembangkit listrik berbahan bakar fosil, 42% batubara, 23% pakai
BBM, dan 21% pakai gas alam. Di sisi lain, pengembangan panas bumi masih
melempem padahal potensinya sangat besar, ada saja hambatannya. Ada yang
bilang, ini karena ditentang mafia batubara.
Indonesia memiliki 40% panas bumi di dunia, terbesar di dunia dengan potensi mencapai hampir 30.000 megawatt (MW). Namun sampai saat ini, baru 1.336 MW atau kurang dari 4% yang baru termanfaatkan.
Kepala Persiapan Lahan dan Evaluasi Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Bambang Purbiyantoro mengungkapkan, kendala-kendala pengembangan panas bumi tidak hanya dari masalah teknis, tapi juga ada yang non teknis seperti dihalangi para mafia batubara.
"Jelaslah mafia-mafia batubara itu nggak mau panas bumi di Indonesia berkembang, bisa bangkrut usaha mereka," kata Bambang ketika berbincang saat kunjungan Media Trip WWF-Indonesia ke Gunung Mount Apo Filipina melihat proyek panas bumi pekan lalu.
Bambang mengungkapkan, sebagian besar pembangkit-pembangkit listrik batubara banyak tersebar di Jawa dan Sumatera, di mana juga menjadi tempat potensi besar panas bumi.
"Di Sumatera dan Jawa itu banyak pembangkit listrik batubara (PLTU) di mana di situ juga ada potensi besar panas bumi, bayangkan kalau panas bumi berkembang pesat di sana. Tidak terpakai batubara mereka mau dijual ke mana? Diekspor saja harganya murah sekali," katanya.
Padahal, kata Bambang, dengan adanya pembangkit panas bumi negara dan masyarakat akan mendapat keuntungan besar.
Indonesia memiliki 40% panas bumi di dunia, terbesar di dunia dengan potensi mencapai hampir 30.000 megawatt (MW). Namun sampai saat ini, baru 1.336 MW atau kurang dari 4% yang baru termanfaatkan.
Kepala Persiapan Lahan dan Evaluasi Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Bambang Purbiyantoro mengungkapkan, kendala-kendala pengembangan panas bumi tidak hanya dari masalah teknis, tapi juga ada yang non teknis seperti dihalangi para mafia batubara.
"Jelaslah mafia-mafia batubara itu nggak mau panas bumi di Indonesia berkembang, bisa bangkrut usaha mereka," kata Bambang ketika berbincang saat kunjungan Media Trip WWF-Indonesia ke Gunung Mount Apo Filipina melihat proyek panas bumi pekan lalu.
Bambang mengungkapkan, sebagian besar pembangkit-pembangkit listrik batubara banyak tersebar di Jawa dan Sumatera, di mana juga menjadi tempat potensi besar panas bumi.
"Di Sumatera dan Jawa itu banyak pembangkit listrik batubara (PLTU) di mana di situ juga ada potensi besar panas bumi, bayangkan kalau panas bumi berkembang pesat di sana. Tidak terpakai batubara mereka mau dijual ke mana? Diekspor saja harganya murah sekali," katanya.
Padahal, kata Bambang, dengan adanya pembangkit panas bumi negara dan masyarakat akan mendapat keuntungan besar.
"Kita tidak perlu lagi beli batubara, nggak
perlu pakai BBM buat produksi listrik khususnya di Sumatera dan Jawa, dengan
panas bumi cuma ngebor sumur keluar uapnya diekstrak menjadi energi untuk memutar
turbin dan jadilah listrik," katanya.
Bambang mengatakan, di Filipina satu sumur rata-rata menghasilkan potensi listrik masih di bawah 9 MW, sementara di Indonesia rata-rata di atas 15 MW.
"Namun berbeda dengan Filipina yang mendorong penuh pengembangan panas bumi, di Indonesia ada saja halangannya, ya karena undang-undang akibatnya izinnya tidak keluar. Ada lagi kebijakan Kementerian Keuangan mengenakan pajak bea masuk peralatan geothermal yang sebelumnya bebas, ya makin berat pengembangan panas bumi di Indonesia," ungkapnya.
Sementara Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ardiansyah mengatakan, banyak kendala dalam pengembangan panas bumi di Indonesia mulai dari masalah perizinan dan AMDAL, lahan kehutanan, serta masalah tarif.
"Kendalanya macam-macam, seperti proses penyelesaian perizinan dan AMDAL yang memerlukan waktu yang cukup lama, lahan wilayah kerja panas bumi yang sebagian besar berada pada kawasan hutan lindung dan cagar alam serta harga atau tarif yang masih belum mencerminkan harga keekonomian dari proyek geothermal," jelasnya.
Ardiyansyah menyebutkan, prospek geothermal di Indonesia sangat banyak, mulai dari Sumatera dari Pulau Weh, Muaralabo, Ulubelu, Sungai Penuh sampai Waypanas.
"Di Jawa mulai dari Darajat, Kamojang, Gunung Salak, Wayan Windu, Patuha sampai Wilis. Sedangkan di Indonesia bagian Timur dari Ulumbu-Flores, Lahendong, Kotamobagu sampai Tompaso," ujarnya.
Ardiansyah mengakui, pemerintah Indonesia bukannya tidak gencar mendorong energi terbarukan khususnya panas bumi. "Pada 2025 pemerintah menargetkan kapasitas geothermal mencapai 8.600 MW dengan mengandalkan pengembangan proyek geothermal Kamojang, Lahendong, Sibayak, Ulubelu, Lumur Balai, Hululais dan Karaha Bodas, kita lihat nantinya apakah bakal tercapai apa tidak," tutupnya.
Bambang mengatakan, di Filipina satu sumur rata-rata menghasilkan potensi listrik masih di bawah 9 MW, sementara di Indonesia rata-rata di atas 15 MW.
"Namun berbeda dengan Filipina yang mendorong penuh pengembangan panas bumi, di Indonesia ada saja halangannya, ya karena undang-undang akibatnya izinnya tidak keluar. Ada lagi kebijakan Kementerian Keuangan mengenakan pajak bea masuk peralatan geothermal yang sebelumnya bebas, ya makin berat pengembangan panas bumi di Indonesia," ungkapnya.
Sementara Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ardiansyah mengatakan, banyak kendala dalam pengembangan panas bumi di Indonesia mulai dari masalah perizinan dan AMDAL, lahan kehutanan, serta masalah tarif.
"Kendalanya macam-macam, seperti proses penyelesaian perizinan dan AMDAL yang memerlukan waktu yang cukup lama, lahan wilayah kerja panas bumi yang sebagian besar berada pada kawasan hutan lindung dan cagar alam serta harga atau tarif yang masih belum mencerminkan harga keekonomian dari proyek geothermal," jelasnya.
Ardiyansyah menyebutkan, prospek geothermal di Indonesia sangat banyak, mulai dari Sumatera dari Pulau Weh, Muaralabo, Ulubelu, Sungai Penuh sampai Waypanas.
"Di Jawa mulai dari Darajat, Kamojang, Gunung Salak, Wayan Windu, Patuha sampai Wilis. Sedangkan di Indonesia bagian Timur dari Ulumbu-Flores, Lahendong, Kotamobagu sampai Tompaso," ujarnya.
Ardiansyah mengakui, pemerintah Indonesia bukannya tidak gencar mendorong energi terbarukan khususnya panas bumi. "Pada 2025 pemerintah menargetkan kapasitas geothermal mencapai 8.600 MW dengan mengandalkan pengembangan proyek geothermal Kamojang, Lahendong, Sibayak, Ulubelu, Lumur Balai, Hululais dan Karaha Bodas, kita lihat nantinya apakah bakal tercapai apa tidak," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar